Menghitung Bintang Jatuh di Puncak Nglanggeran

Jam 9 lewat 15 menit malam, kami berenam (Saya, Mba Rina, Mba Sasha, Ngashim, Mas Ulla, Mas Yula) perlahan meninggalkan Padukuhan Sengir. Menuruni jalanan yang hanya tersorot oleh lampu sepeda motor. Beruntung, malam itu tidak hujan, jadi jalanan yang kami lewati tidak licin. Meski demikian, berkendara di jalanan bukit waktu malam terasa cukup mengerikan. Saya sering kali menepuk-nepuk bahu Ngashim, kebetulan saya diboncengin Ngashim, jika dia terlalu terburu dalam berkendara. “Shiim… jangan ngebut, pelan-pelan saja di belakang Mas Yula!!” begitu teriakku .

Sekitar 20 menit kemudian, kami telah sampai di loket pembelian tiket masuk (bener gak sih?) ke Nglanggeran. Bukan masuk, mungkin naik (muncak?) ke Nglanggeran yang lebih tepat. Setelah membeli tiketnya, kami bergantian untuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Lalu perlahan kami melangkahkan kami-kaki kami ke pinggang Gunung Api Purba tersebut. Udara malam itu terasa dingin dan menggigit lapisan terluar kulit kami. Bahkan saya harus merangkap jaket yang saya kenakan.

Begitu masuk, saya melihat beberapa orang yang berasyik masyuk bercerita dan tertawa di balik batu. Sepertinya, tempat yang mereka pilih untuk camping sangat nyaman, tenda mereka dikelilingi batu-batu besar, sehingga angin malam tak leluasa menyapa mereka. Kami terus berjalan, ah mendaki  tepatnya. Kadang kami melewati sebuah undak-undakan yang kanan kirinya adalah semak. Jika tidak hati-hati, kaki kami mungkin akan terperosok dan jatuh. Kadang kami harus mendaki batu-batuan besar, dan yang paling keren adalah, saat kami mendaki batu yang besar dan tinggi dengan menggunakan tambang. Ini jelas yang paling keren.

Kami hanya mempunyai 2 senter, satu adalah senter tangan dan yang satunya adalah senter kepala (saya tidak tau namanya). Jadi kami harus bergantian saat melangkah. Memastikan langkah pada tumpuan yang tepat. Mas Yula berjalan paling depan, memimpin pendakian ini. Saya berada tepat di belakangnya, lalu di susul Mba Sash, Mba Rina, Ngashim, dan Mas Ulla. Sebagian besar dari kami telah beberapa kali melakukan pendakian gunung. Namun bagi saya, ini adalah pengalaman pertama.

Dingin yang tadi menyapa perlahan pergi bergantikan butiran-butiran keringat di kening dan membuat basah kain yang ada di salam sana. Meski demikian belum ada tanda-tanda jika pendakian akan segera berakhir. Sebuah jalan yang sempit, kanan dan kiri menjulang batu karang nan besar dan tinggi, harus kami lewati. Meski sempit, saya berhasil melenggang dengan sukses (keuntungan berbadan mungil), dan saya kira beberapa diantara kami harus berjalan miring untuk sukses melewatinya. Di jalan yang sempit tadi, di tengahnya terdapat batu segede kepala bapaknya raksasa yang nyangkut diantara dua batu. Jadi, kami harus berjalan menunduk, menerobos. Saat disini, tiba-tiba saya teringat dengan film 127 hours. Cerita tentang seorang pendaki yang tangannya terjebit batu, hingga pada akhirnya dia harus memotong tangannya sendiri untuk bisa melangsungkan hidupnya. Jadi bergidik saya dibuatnya.

Sukses melewati jalan sempit tadi, kami harus menaiki tangga yang terbuat dari bambu yang dibuat asal-asalan, bahkan salah satu anak tangganya lepas. Hingga saya kesulitan untuk melangkah dua anak tangga sekaligus (kerugian berbadan mungil). Setelah lolos dari jalan sempit dan tangga bambu itu, kami masih harus berjalan dan mendaki lagi. Sesekali Mas Yula menunjukkan pada kami pohon-pohan yang ditanamnya bersama kawan-kawan Canting saat ulang tahun Canting yang pertama pada Februari lalu. Meskipun tak nampak subur, tapi tanaman itu hidup. Itu sudah cukup memuaskan!

Berjalan, mendaki, memanjat sambil menarik tambang, setidaknya itu kami lakukan untuk mencapai puncak. Untuk melihat keindahan Jogja dari ketinggian. Hingga pada akhirnya, blaaarr, lampu berkelipan ada yang berjalan, merah, kuning, taburan bintang terlihat sempurna. Kami sampai di puncak!!!

Subhanallah, Jogja terlihat sangat sangat sangat indah jika dinikmati dari tempat ini. Terlihat jauh lebih sempurna dari pada saat menikmatinya di Bukit Bintang. Di tempat ini, bintang yang bertaburan di langit jauh lebih banyak dari yang paling banyak yang pernah saya lihat. Indah… sungguh indah.

“Kita sampai!!!” teriakku.

“Belum, puncaknya masih di sana tuh!” senggol Ngashim sambil menunjuk gunung yang tinggi di belakangku.

“???” saya cuma bengong. Di sini sudah sangat bagus!!!

“Gak apa, kita di sini dulu saja!” begitu kata Mas Yula.

Kami berenam berjalan belok kiri (saya tidak tahu, ke barat apa timur L) lalu duduk di sebuah tebing. Menurunkan ransel yang sedari tadi menggelendot di punggung kami. Fiuh… rasanya menyenangkan. Sejenak kemudian, kami bebaringan di sini, beralaskan bebatuan, berbantal ransel, di puncak (?) Nglanggeran.

Nglanggeran Doc. Rina Tri Lestari

“Lihat…. Ada bintang jatuh!” teriak Mba Sasha sambil jarinya menunjuk ke arah langit.

Telat. Ya, saya yang lemot akhirnya telat menikmati bintang jatuh yang entah sudah sejak kapan saya terakhir melihatnya. Hingga kami mencoba untuk bertaruh, siapa yang paling banyak melihat bintang jatuh. Dan syukurlah, saya dua kali diberikan kesempatan indah itu. Melihat bintang jatuh!

Kami lanjutkan acara malam itu dengan bercerita-cerita, ngemil, lalu mendengarkan Ngashim yang membacakan status-status galau yang ada di FB miliknya. Hingga kami untuk sesaat tertidur. Berselimut dingin yang menusuk-nusuk tulang sampai membuat dada terasa sesak, beralaskan bebatuan gunung kapur, dan disaksikan ribuan mata bintang yang berkedip-kedip di langit sana.

“Kita mau nginap apa pulang? Kalau nginap, sebaiknya kita mencari tempat yang hangat. Jika pulang, sebaiknya sekarang kita turun!” Omelan Ngashim membangunkan jiwa kami yang teratuk-antuk.

Tagged: , , ,

10 thoughts on “Menghitung Bintang Jatuh di Puncak Nglanggeran

  1. episodetu7uh 10 July 2011 at 1:18 PM Reply

    Tempatku disana….

    • fawaizzah 10 July 2011 at 2:44 PM Reply

      lain kali kesana lagi Mas Gun 😉

  2. ranselhitam 9 July 2011 at 2:01 PM Reply

    eh ternyata jalan2 ke nglanggeran di posting disini heehhe,,, telat komennyaaaaaaa 🙂

    • fawaizzah 9 July 2011 at 2:18 PM Reply

      wkwkwk telat banget datengnya…
      gak ikut susur pantai po mbak?

  3. Aziz Safa 5 July 2011 at 11:37 AM Reply

    semoga bintang itu berkabar baik untuk esok hari… dan hari-hari selanjutnya.

    • fawaizzah 5 July 2011 at 1:33 PM Reply

      Amin……
      suwun pakdhe, kunjungane 😉

  4. Mr`PeKeN 4 July 2011 at 4:41 PM Reply

    klo ada bintang jatoh…request luna maya dunnkk….:-P

    • fawaizzah 4 July 2011 at 5:14 PM Reply

      hahaha nanti klo ke Nglanggeran lagi 😉

  5. maucokelat 4 July 2011 at 1:53 PM Reply

    bintang itu tak pernah jatuh, konon

    • fawaizzah 4 July 2011 at 2:32 PM Reply

      oh ya? saya blm pernah dengar. cerita donk…
      berarti yg kaya bintang jatuh itu namanya apa?

Tinggalkan Jejak

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Hadisome

Tentang Apa Saja dan Siapa Saja

Najlazka

“Life isn't about waiting for the storm to pass...It's about learning to dance in the rain.” ― Vivian Greene

RetakanKata

Karena Setiap Kata Punya Makna

Hidupnya Indra

Catatan Hidup Seorang Indra Nugroho

Catatan Dahlan Iskan

dahlaniskan.wordpress.com

gengkata

kata-kata adalah cermin kualitas seorang manusia

@buhanzhalah

Kumpulan Artikel Islam & Pernikahan

%d bloggers like this: