Setiap malam aku mengendap-endap ke kamarmu. Menelusup lewat lubang kunci di pintu. Memastikan selimutmu telah terpasang sempurna. Memastikan jendela kamarmu telah terkunci rapat. Aku tak rela jika angin malam menyetubuhimu, lalu membuatmu menggigil karena dingin.
Aku berdiri di sebelah ranjangmu, menatap wajahmu lekat. Ingin rasanya mengusap keningmu lalu memainkan anak rambut di atas cupingmu. Tapi tak kulakukan. Tak akan kubiarkan sesuatu mengusik tidurmu, walaupun itu aku.
Aku menyukaimu saat kamu terlelap, kelopak matamu tak mengatup sempurna. Kamu tahu, aku sering mengintip mimpimu lewat situ. Kadang, setengah mati aku manahan detakan jantungku biar tak keras terdengar olehmu. Ya, karena mengintip mimpimu!
Entah dimana, aku belum melihat tempat itu. Ada suara gemericik air, hawa dingin, bebatuan sebesar perut sapi. Sepertinya, kamu tengah berada di tepi sungai. Hulu sungai. Ya, tak salah lagi. Ada aroma pegunungan di sini.
Aku melihat punggungmu. Berguncang. Apakah kamu menangis? Ah bukan, kamu tengah tertawa. Buka sedikit lagi matamu biar aku tahu apa yang membuatmu tertawa begitu.
Ada punggung lain selain punggungmu? Tidak, tidak. Itu punggung perempuan! Aku pasti akan menjerit jika perempuan itu bukan aku. Lihat saja, aku akan menggigit hidungmu jika sampai kamu memimpikan perempuan lain.
Ayo, buka sedikit lebih lebar matamu! Biar aku tahu siapa perempuan itu. Perempuan lancang yang memasuki mimpimu, bahkan membuatmu tertawa begitu. Aaarrggh… apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian duduk terlampau dekat?
—
Aku sudah berdiri satu jam sekian detik di depan pintu rumahmu. Aku tak berani mengetuk, aku tahu kamu sudah bangun –meski masih terantuk-antuk. Ada suara air yang dituang dalam cangkir, tak lama kemudian aroma kopi merebak.
Satu, dua, tiga. Pintu terbuka. Sudah kuduga kamu akan membukanya. Bukan karena aku tentu saja, melainkan karena itu kebiasaan pagimu. Kopi di beranda.
“Hei, kenapa tak masuk saja?”
Aku mendelik, jijik.
“Kenapa pas sekali? Semalam aku bermimpi tengah berada di hulu sungai bersamamu.”
Aku tahu, bukahkah aku semalam mengintip mimpimu? Mimpi yang sempat membuatku ingin menggigit hidungmu. Karena menyangka perempuan yang bersamamu bukan aku.
“Kenapa diam saja?”
“Karena masih ada dia di matamu!”
“Apa?”
“Tembelekmu itu!!!”
Tagged: #15HariNgeblogFF, flash fiction
tembelek itu….anu
hehehe…ini tai mata jadinya ya….oalllahh mbakkkk…
Dari awal udah galau banget, kenapa di ujung tiba2 tembelek, mbak Izzah?
Ahahaha
bantingnya asik. tapi aku masih bingung, apa hubungannya dengan tutur cerita dari awal.
disambung-sambungin aja deh.
masih tetep ga nyambung? banting! haha
😆
tembelek itu ‘blobok’ itu bukan ya?
iyaaa 😆